Kurma Untuk Pengentasan Kemiskinan
Menurut pengakuan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin di
Republika bulan lalu (04/03/2013), penurunan angka kemiskinan di
Indonesia berjalan sangat lambat. “Sangat lambat. Salah satu penyebabnya
karena tidak fokus dalam penanganannya” ungkap beliau di media
tersebut. Data kemiskinan terakhir (September 2012) menunjukkan angka
resmi kemiskinan ini masih berada di 28.59 juta orang atau 11.66% dari
penduduk Indonesia. Menurut saya, salah satu penyebab lestarinya
kemiskinan ini adalah karena kita salah makan !
Kok bisa ? dalam tulisan saya bulan lalu “Golongan Kanan yang Memberi
Makan” (26/03/13) saya ungkapkan bahwa produksi pangan dunia itu saat
ini cukup untuk memberi makan bagi lebih dari dua kali penduduk bumi.
Tetapi karena bahan pangan itu diproduksi oleh negeri kaya yang tidak
terjangkau oleh sebagian penduduk negeri miskin – maka kemiskinan dan
kelaparan itu masih mewarnai sebagian dari penduduk bumi.
Untuk kasus kita di negeri ini, kita mengimpor gandum untuk bahan
makanan penduduk sampai pelosok-pelosok (mie dan sejenisnya) – padahal
ini juga bukan makanan asli kita. Kita mengimpor sebagian beras, jagung,
kedelai, susu, daging dlsb. dlsb. Intinya kita masih membeli makanan
kita bukan memproduksinya sendiri secara cukup.
Untuk mampu membeli, kita butuh uang, sedang untuk bisa memiliki uang
kita harus bekerja. Maka ketersediaan lapangan kerja menjadi salah satu
kunci pengentasan kemiskinan itu. Bagaimana kalau sebagian besar
lapangan kerja itu diambil oleh negeri lain – negeri yang memproduksi
bahan makanan yang kita impor tersebut ? itulah lingkaran setan yang
melestarikan kemiskinan itu.
Lingkaran kemiskinan ini harus kita putuskan rantainya agar
kemiskinan tidak lagi lestari. Tetapi bagaimana caranya ? salah satunya
adalah dengan berhenti mengimpor makanan kita dan sekaligus juga
menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Tetapi dari mana memulainya ?
Rata-rata kepemilikan lahan petani di Indonesia hanya 0.34 ha per
keluarga petani (BPS, 2010). Inipun rata-rata di Indonesia, rata-rata di
wilayah padat penduduk seperti Pulau Jawa yang mewakili lebih dari
separuh penduduk Indonesia – tentunya jauh lebih kecil lagi.
Lantas ditanami apa lahan yang sangat sempit tersebut ? disinilah
masalahnya. Ketika kita berfikir bahwa bahan pangan kita harus beras,
kedelai, jagung atau bahkan gandum – maka akan sulit sekali memproduksi
bahan pangan yang ekonomis dengan luasan lahan tersebut.
Untuk menanam padi diperlukan kerja keras luar biasa setiap musim
tanam sampai panennya, diperlukan air yang banyak dan bahkan dalam
kondisi alam kita sekarang juga dibutuhkan biaya pupuk dan insektisida
yang besar. Walhasil produksi padi pak tani sering menjadi kurang
sepadan dengan seluruh tenaga dan biaya yang dikeluarkannya.
Karena bertani menjadi kurang menarik, tenaga kerja pedesaan
berbondong-bondong menuju perkotaan mencari kerja di kota – yang belum
tentu juga ada. Akibatnya kini di Jawa, jumlah penduduk miskin itu
nyaris berimbang antara di desa (8.7 juta) dan di kota (7.1 juta). Fakta
ini sepertinya mensyiratkan bahwa pembanguan yang berpusat di kota –
bukan menjadi solusi pengentasan kemiskinan itu.
Maka kita harus berani berfikir berbeda, bahwa makanan kita tidak
harus semata tergantung dari padi, jagung, kedelai, gandum dan
sejenisnya yang memerlukan skala ekonomis tertentu untuk dapat
memproduksinya secara efisien.
Makanan kita harus bisa ditanam secara ekonomis di luasan lahan yang
sempit sekalipun. Makanan kita harus bisa ditanam dengan hasil cukup
tanpa harus memerlukan input (tenaga kerja, biaya, benih, pupuk dlsb)
yang besar, untuk inilah saya memilih kurma.
Mengapa kurma ? selain petunjukNya itu mengarah pada tanaman ini –
nilai ekonomis tanaman kurma juga mudah dinalar. Perpohonnya hanya
membutuhkan luasan area sekitar 64 m2, dia cukup ditanam sekali dan akan
hidup sampai seratus tahun bahkan lebih. Artinya sekali ditanam, sampai
generasi anak cucu sudah tidak lagi membutuhkan inputan yang banyak –
untuk bisa menghasikan kurma secara terus menerus.
Bila 0.34 ha tanah pak tani separuhnya anggap saja tanah gersang dan
hanya yang gersang ini yang ditanami kurma – maka rata-rata petani bisa
menanam sampai sekitar 26 pohon kurma. Dengan asumsi separuh pohon
jantan saja, petani masih memiliki 13 pohon kurma betina. (rasio betina
ini bisa diperbanyak melalui teknik pembibitan kultur jaringan, tetapi
saya ambil angka yang konservatif saja).
Hasil pohon kurma yang baik sekali musim berkisar antara 80 kg s/d
300 kg, saya ambil yang terkecil 80 kg sekali musim dalam setahun (bisa
dua kali , tetapi lagi-lagi saya ambil yang konservatif). Maka lahan
gersang pak tani bisa memberikan hasil 13×80 kg = 1,040 kg setahun.
Jumlah ini kurang lebih cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori 3 orang
dalam setahun.
Bayangkan hanya dengan memanfaatkan lahan gersang para petani, dengan
effort yang minimal – karena sekali ditanam dia akan bertahan sampai
beberapa generasi yang akan datang, kurma sudah bisa berkontribusi dalam
memberikan bahan makanan yang cukup bagi penduduk negeri ini.
Bila bahan makanan cukup dihasilkan di negeri ini, kita bisa
menurunkan biaya impor bahan makanan kita dari negeri lain sampai ke
titik minimumnya – disinilah lingkaran setan yang melestarikan
kemiskinan itu mulai kita putus rantainya. Penghematan dari impor bahan
makanan ini bisa menjadi investasi yang menciptakan lapangan kerja dan
membangun kemakmuran di negeri yang mandiri pangan ini nantinya.
Kalau menurut ketua BPS diatas penyebab lambatnya laju penurunan
kemiskinan itu karena penanganan yang kurang fokus, maka melalui tulisan
ini saya tawarkan solusi yang fokus – fokus pada pengadaan kebutuhan
pokok utama kita yaitu makanan, fokus pada petunjukNya dan lebih
spesifik lagi fokus pada makanan para Nabi yaitu kurma !
Pada waktunya nanti saya akan melengkapi tulisan ini dengan nilai
dari 13 pohon kurma jantan – yang masih saya sisihkan dalam perhitungan
di atas. InsyaAllah.
Sumber : http://wiki.wikitani.com/docs/kurma-untuk-pengentasan-kemiskinan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar